Cerpen"Dan Lalu" oleh Djenar Maesa Ayu
D
|
an berjalan tertatih memapah Lalu. Selalu saja terjadi seperti itu.
Padahal sebelumnya Dan berniat untuk maju. Tak lagi mengindahkan tangis Lalu di
belakangnya yang mendayu-dayu.
Tapi untuk
kesekian kalinya Dan kalah. Kedua kakinya urung melangkah. Tangis Lalu ibarat
tali tambang yang menjerat erat kedua kakinya agar tidak pindah. Dan tak
berdaya walaupun sebenarnya sudah merasa teramat sangat jengah.
Ketika Dan
pertama kali bisa mengingat, itulah awal ia mengenal Lalu. Saat itu Lalu adalah
seorang bocah yang masih lugu. Dan ingat betul hari pertama Lalu pergi ke
sekolah. Rambutnya yang dikuncir kuda, berpita merah. Tangannya digandeng oleh
pembantu. Sementara anak-anak lain datang diantar Ibu. Gerak tubuhnya kaku.
Sorot matanya ragu. Lalu seolah tenggelam di dalam lautan orang tua, murid dan guru.
Dan juga masih
ingat betul semua kejadian di dalam rumah Lalu yang terletak di kawasan
mentereng. Di tingkat rumah gedongan itu ada sebuah tempat khusus untuk
menjemur pakaian berlantai seng. Ibu Lalu senang menghukumnya di sana. Lalu
disuruh berdiri seharian tanpa ada yang mengalasi kakinya. Panas matahari yang
diserap oleh seng membuat telapak kaki Lalu terasa membara awalnya. Tapi jerit
kesakitan yang ingin keluar dari dalam mulutnya hanya bisa Lalu teriakkan di
dalam batinnya saja. Bagi Lalu tak ada panas yang mampu membakarnya hidup-hidup
kecuali bara di dalam mata ibunya.
Ibu Lalu
dipersunting pada usia muda. Itu pun sebagai istri ketiga. Kisah klasik tentang
kesulitan ekonomi yang membuat kedua orang tuanya dililit hutang. Tak punya
pilihan, direlakannyalah sang anak semata wayang. Ibu Lalu tak berdaya
menentang. Walau jauh dalam lubuk hatinya meradang.
“Tak ada yang
lebih kelam daripada dendam seorang anak pada orang tuanya. Tapi tak ada yang
lebih kejam daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan
kepada keturunannya.” Kalimat Lalu itu terngiang-ngiang di dalam telinga Dan
sepanjang waktu. Saat mengatakan itu, Lalu sudah bukan lagi bocah yang lugu. Ia
dengan santai duduk sambil merokok tanpa mengenakan baju. Beberapa saat sebelumnya
seorang laki-laki pergi. Entah laki-laki keberapa yang hari itu sudah ia
tiduri. Lalu sama sekali terlihat tak peduli. Ia lebih menikmati hidupnya kini
asal ibunya tak lagi bisa menyakiti.
Melihat semua
itu, kadang Dan menyesal juga. ”Setiap orang berhak untuk bahagia,” begitu yang
dikatakan Dan saat Lalu menangis terisak-isak di atas bahunya. Kebencian Lalu
pada ibunya, adalah kebencian Dan juga. Dan benci setiap kali ibu Lalu
mencaci-maki hanya untuk masalah-masalah kecil. Lupa di mana menaruh pensil.
Alpa kapan harusnya menggunakan sendok makan besar atau kecil. Kebanyakan
ngemil. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah suami Ibu Lalu sudah
jarang sekali pulang dikarenakan istri keempatnya sedang hamil.
Dan lebih benci
lagi setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki, tapi juga melayangkan
tamparan hanya karena masalah-masalah yang ia anggap besar. Mendapat nilai
buruk dalam pelajaran Aljabar. Menyisihkan uang jajan agar bisa secara
diam-diam membeli gitar. Berteman dengan anak-anak yang dianggap berasal dari
keluarga tak terpelajar. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah
selain suami ibu Lalu sudah jarang sekali pulang, uang yang diberikan pada
mereka pun semakin ala kadar.
Dan pun sangat
amat benci setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki dan melayangkan
tamparan. Tapi juga mempersiapkan segala atribut kekerasan hanya karena ia
sendiri yang menganggap kenakalan Lalu sudah berada di luar batas kewajaran.
Kabur dari Les Tambahan. Yang semula peringkat satu, langsung turun ke
peringkat sembilan. Pacaran dengan berandalan. Padahal Dan tahu kalau penyebab
semua itu adalah selain suami ibu Lalu sudah jarang sekali pulang dan
memberikan uang, Ibu Lalu juga tak bisa memperkarakannya secara hukum tanpa
adanya akta pernikahan.
Dan menelan
hingga kenyang segala caci-makian maupun tamparan ibu Lalu. Tapi Dan sudah
benar-benar muak dengan segala hukuman itu. Dan tak lagi sampai hati melihat
kedua telapak kaki Lalu yang melepuh di atas seng. Diikat lalu disekap seharian
tanpa minum dan makan dalam kamar mandi pembantu bagai makanan kaleng. Dipaksa
makan sepiring kertas-kertas pelajaran Aljabar yang dipenuhi tanda contreng.
Padahal semua itu adalah pelampiasan benci ibu Lalu kepada suaminya. Juga
kepada kedua orang- tuanya. Tapi anak kandungnya sendiri yang harus menanggung
akibatnya.
Dan berjalan
tertatih memapah Lalu. Keluar dari rumah Ibu. Kedua telapak kaki Lalu yang
melepuh tak lagi terasa perihnya. Penuh harapan menjemput merdeka.
Diantarnya Lalu menemui pacarnya di sebuah kamar kumuh. Di sana, Lalu
mengeluarkan segala resah dan keluh. Hingga tanpa terasa, keluh itu berangsur
jadi lenguh. Berpeluh mereka, sambil saling mengaduh. Segala derita Lalu terasa
begitu jauh.
Lalu terbangun
saat seseorang meraba pinggulnya. Dibalasnya rabaan tangan itu dengan maha
mesra. Tapi alangkah terkejutnya Lalu saat membalikkan tubuhnya. Itu bukanlah
tangan pacarnya. Lalu mencoba melawan dengan sekuat tenaga. Tapi kekuatannya
sama sekali tak sebanding dengan kekuatan laki-laki yang tengah menindih tubuhnya.
Semuanya
terjadi secepat kilat. Namun bagi Lalu, waktu yang berjalan terasa amat lambat.
Lalu pun segera tahu jika ia sudah tertipu. Tapi Lalu juga tahu jika pulang
bukanlah pilihan yang tepat saat itu. Bisa dengan jelas Lalu bayangkan sorot
kepuasan di dalam mata ibunya saat tahu jika ia benar. Laki-laki yang Lalu
anggap pacar dan bisa menjadi penyelamatnya itu ternyata tak lebih dari seorang
makelar. Bisa dengan jelas Lalu dengar juga suara tawa ibunya yang keluar dari
mulut terbuka lebar. Sungguh, dibanding semua yang dibayangkannya itu, Lalu
lebih memilih dihajar.
Dan nelangsa
dibuatnya. Kalau pun pulang ke rumah Ibu bukan pilihan pertama, membiarkan
tubuh dijajakan harusnya bukanlah pilihan kedua.
“Tiap orang
berhak untuk bahagia,” lagi-lagi Dan mengingatkan.
“Bahagia itu
apa?!” tangkas Lalu.
“Merdeka.”
“Merdeka
katamu?!” Lalu tertawa terbahak-bahak. Dibenamkannya dengan kasar nyala rokok
ke dalam asbak.
“Kita
dilahirkan ini bukan untuk merdeka! Kalau iya, dari awal kita bisa nentuin mau
dilahirkan atau enggak. Nah ini, milih dilahirin siapa aja kita gak mampu. Mati
dengan cara apa nantinya pun kita gak pernah tau, masih juga ngomongin bahagia.
Merdeka. Taik!”
Sekujur tubuh
Dan lemas. Apalagi setelah suara Lalu terdengar makin keras.
“Eh, sadar gak
kamu berapa sering waktu lagi enak-enak tidur kita mesti bangun kencing?! Kita
semua terperangkap di dalam tubuh brengsek ini. Kalo mau merdeka, ya mesti
mati!”
Dan terkesiap.
Seketika ia merasa siap. Lalu memang seharusnya mati. Jika tidak, tak akan
pernah ada kata “Dan” dalam kamus hidupnya nanti.
“Tak ada yang
lebih kelam daripada dendam seorang anak pada orang tuanya. Tapi tak ada yang
lebih kejam daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan
kepada keturunannya.”
Dan tidak ada
yang lebih seram daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang
dilampiaskan kepada keturunannya, yang menyebabkan sang korban menghukum
dirinya.
Kalimat itu
membuat Dan ngeri. Serta merta dibenturkannya kepala Lalu ke arah tembok
berkali-kali. Warna merah merona tembok yang semula pasi. Muncrat ke atas
seprai yang dipenuhi noda air mani bermacam laki-laki. Dan pun segera menyadari
Lalu mati, saat darahnya mengalir juga di wajah Dan sendiri.
Dan lalu, tak
lagi ada kemudian. Yang tinggal hanya pertanyaan. Apakah kematian adalah
kekalahan atau kemenangan. Memenjarakan atau memerdekakan.
*Dan lalu…
sekitarku tak mungkin lagi kini, meringankan lara. Bawa aku pulang, Rindu,
segera!
Jakarta,
coffeewar dan Rumah
*Cuplikan
lagu “Pulang” karya “Float”, Meng, Bontel, dan Raymond. Atas inspirasinya,
hatur terima kasih.
Komentar
Posting Komentar