Cerpen"Kemarau" karya Andrea Hirata
Cerpen Andrea Hirata
(Kompas, 25 Juli 2010)
BARANGKALI karena hawa panas
yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak.
Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim
kemarau telanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah
bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada
hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut
sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih
menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau
harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat
perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam
besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya
ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas yang
terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan
lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil aku punya firasat, bahwa
jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah
kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang.
Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha
mencerna makna filosofis patung itu, tetapi selalu gagal. Aku hanya bisa
menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki
pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para
pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka
mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku
bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara
anatomis sangat besar? Baru belakangan kutahu jawabannya, yaitu di depan patung
itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan
program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin
menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu
memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45, dan papan reklame
itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan
adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah
museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada
yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang
jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi
menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah.
Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat
menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja
menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan
berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi
orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa
kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap
kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya
memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di
dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan
menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama
sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa
itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat
orang-orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon, mereka
dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di
Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala
sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak
pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu
selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami.
Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya
masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh
mengerikan hidup ini kadang-kadang.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang berteduh di bawah
patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal
yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana
menatap propaganda yang dikoarkan para politisi di papan reklame itu, megah
bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka
sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang
telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45
mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin
menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal
keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu hanya tinggal segunung besi
rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu.
Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung
kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini,
satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti
fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami, bagian penting
dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama
24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh
kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi
buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan
tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan
kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu
adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling
beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua
pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh
wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah
melangkah tangkas sambil menyandangransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga
kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu jika dibariskan akan membentuk satu
segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh
bapak kunci yang paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian
anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria
yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah
ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan
kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat
kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku
kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim
masih kemarau.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas
dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya
pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap
propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah
merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti
mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam
besar yang berada tepat di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun,
tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya
pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi.
Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan
riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu lenyap, macam telah disulap
seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya
“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya acuh tak acuh
sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terenyak. Sirna sudah kenangan
manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu.
Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya
ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan para pejuang 45. Namun itu
tak kulakukan, karena aku telah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam
besar itu, sudah pukul 5.
Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup
berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu.
Lalu seakan kudengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang
mengucapkan salam. Kemudian kudengar gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke
luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat,
lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduan
pada ayah menjadi tak tertanggungkan. (*)
Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan
Kisah-Kisah dari Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata
Selamat pagi Ericka, blog kamu bagus, sederhana. Postingannya ini dari bahasa dan sastra, iya kan?
BalasHapusOh iya, ada saran nih dari aku, kalau bisa di beri label ya dari yang sesuatu yang kamu posting, sehingga postingan kamu dapat terkelompokkan. InsyaAllah, akan lebih indah dan tertata. Semangat pagi Ericka :D
BSI? Cinta Indonesia.