Makalah: Pendekatan Mutakhir dalam Pembelajaran Bahasa

PRAKATA
Atas ridha Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, kami telah menyelesaikan tugas makalah Teori Pembelajaran Bahasa dan Sastra yang berjudul Pendekatan Mutakhir dalam Pembelajaran Bahasa.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Guna memperlancar penyusunan makalah ini, penyusun telah memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun menyampaikan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Teori Pembelajaran Bahasa dan Sastra yang telah membantu kami memperdalam materi dan teman-teman yang telah memberikan kami dukungan untuk menyelesaikan makalah ini.
            Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Agar penyusunan untuk makalah selanjutnya dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.


Semarang, 14 Oktober 2014


Penyusun





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................       i
PRAKATA.......................................................................................................................      ii
DAFTAR ISI …………...................................................................................................     iii
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................................................      1
A.    Latar Belakang................................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah ..........................................................................................      1
C.     Tujuan .................................................................................................... …….    1
BAB II
  PEMBAHASAN ...........................................................................................................      2
A.    Pendekatan Mutakhir Dalam Pembelajaran Bahasa ......................................      2
1.    Pembelajaran Bahasa Masyarakat ...............................................................     2
2.    Respons Fisik Total  ………….……………………………………………     6
3.    Pendekatan Alamiah   ……………………………………………………..     8
4.    Pendekatan Diam …………………………………………………………   12
5.    Sugestopedia ……………………………………………………………...   16
BAB III
  PENUTUP  …………………………………………………………………………….   21
A.    Simpulan  ……………………………………………………………………   21
DAFTAR PUSTAKA  ......................................................................................................   23



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan ilmu linguistik sejak lahir sampai saat ini mengalami hubungan dengan ilmu lain. Kaitan ilmu itu melahirkan  subilmu baru  seperti sosiolinguistik dan psikolinguistik, tetapi kadang-kadang hanya menambah dimensi keilmuan. Sampai dengan tahun 60-an konsep pembelajaran bahasa didominasi oleh pandangan yang secara implisit mengatakan bahwa guru adalah pemilik ilmu sedangkan siswa adalah objek yang menjadi sasaran guru. Penelitian maupun praktik pembelajaran bahasa waktu itu lebih dicurahkan untuk dapat mengajarkan bahasa sebaik-baiknya. Hampir tidak pernah disinggung peranan para siswa dalam menanggapi masukan-masukan yang diberikan. Maka pada makalah ini akan dijelaskan mengenai pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendekatan mutakhir dalam pembelajaran bahasa?
2.      Apa yang dimaksud dengan pembelajaran bahasa masyarakat?
3.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan respons fisik total?
4.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan alamiah?
5.      Apa yang dimaksud dengan  pendekatan diam?
6.      Apa yang dimaksud dengan  pendekatan sugestopedia?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pendekatan mutakhir dalam pembelajaran bahasa
2.      Mengetahui pembelajaran bahasa masyarakat
3.      Mengetahui pendekatan respons fisik total
4.      Mengetahui pendekatan alamiah
5.      Mengetahui pendekatan diam
6.      Mengetahui pendekatan sugestopedia

BAB II
PEMBAHASAN

A.   PENDEKATAN MUTAKHIR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Sampai dengan tahun 60-an konsep pembelajaran bahasa didominasi oleh pandangan yang secara implisit mengatakan bahwa guru adalah pemilik ilmu sedangkan siswa adalah objek yang menjadi sasaran guru. Penelitian maupun praktik pembelajaran bahasa waktu itu lebih dicurahkan untuk dapat mengajarkan bahasa sebaik-baiknya. Hampir tidak pernah disinggung peranan para siswa dalam menanggapi masukan-masukan yang diberikan.
Pembelajaran yang disajikan yakni:
1.      Pembelajaran Bahasa Masyarakat (Community Language Learning)
2.      Respons Fisik Total (Total Physical Response)
3.      Pendekatan Alamiah (The Natural Approach)
4.      Pendekatan Diam (The Silent Way)
5.      Sugestopedia (Suggestopedy)

1.      Pembelajaran Bahasa Masyarakat (Community Language Learning)
a.      Latar Belakang
Pembelajaran Bahasa Masyarakat (PBM) merupakan suatu ide yang muncul pada tahun 1957, yang dicetuskan oleh Charles A. Curran, seorang spesialis dalam konseling dan seorang professor psikologi di Universitas Loyola, Chicago. Pendekatan ini menerapkan psikoterapi dalam bentuk konseling pada para mahasiswanya. Bahasa yang dipakai dalam eksperimen ini adalah bahasa Prancis, Jerman, Spanyol, dan kemudian ditanggapi dan dicoba oleh peminat lain, seperti bahasa Jepang, Cina, Indonesia, dan Swahili. Implikasinya dalam pengajaran kebudayaan pun telah diterapkan orang. Dari para peminat lain, dilaporkan bahawa hasil yang telah mereka capai melebihi hasil yang dicapai dengan metode pengajaran yang konvensianal.

b.      Prinsip Dasar
Karena latar belakang pendidikan formal Curran adalah psikoterapi, dia menyejajarkan pembelajaran bahasa sebagai persoalan antara seorang ilmu jiwa dengan seorang pasien. Hal ini tercermin dalam dua istilah yang dipakainya, yakni klien dan konselor untuk menggantikan siswa dan guru. Curran beranggapan bahwa pada waktu seorang terjun ke dalam suatu arena yang baru seperti proses belajar bahasa asing, menusia merasa asing, manusia dihinggapi oleh rasa tidak aman, rasa terancam, rasa cemas, konflik  dan berbagai perasaan lain yang secara tiak disadari menghambat pembelajar untuk mencapai keberhasilan. Dalam istilah lain, manusia mengembangkan inhibisi (hambatan) dalam pembelajaran. Banyak penelitian membuktikan bahwa pembelajar akan gagal jika inhibisi masih ada dalam pembelajaran.
Dalam Pembelajaran Bahasa Masyarakat, tugas utama seorang konselor adalah untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi segala perasaan negative para kliennya. Seorang konselor dituntut untuk memiliki sikap yang fasilitatif, baik dalam menularkan pengetahuannya maupun melayani para kliennya maju dari satu tahap ke tahap yang lain.
Dalam kaitannya dengan keadaan psikologi para siswa, Curran mengajukan enam konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan pembelajaran. Enam konsep itu dicakup dalam suatu singkatan, SARD yang merupakan singkatan dari security (rasa aman), attention-aggression (atensi-agresi), retention-reflection (retensi-refleksi), dan discrimination (diskriminasi).
Security adalah rasa aman pada diri klien maupun konselor. Melalui berbagai eksperimen yang telah dilakukan, Curran berkesimpulan bahwa dalam usahanya menggunakan bahasa asing, siswa seolah-olah mencari teman senasib yang ada di lingkungannya yang memiliki kemampuan yang sama atau lebih rendah dari dia. Rasa aman dapat ditemukan apabila rekan sekelas beserta konselornya menunjukkan sikap gotong royong dan memberikan kekpercayaan kepadanya. Konsep dari rasa aman itu meminta pula konselor untuk bertindak sebagai orang yang menyebarkan benih yang diharapkan tumbuh pada kliennya.
Atensi-agresi (attention-aggression) merupakan syarat psikologis kedua yang harus ditumbuhkan. Atensi ? Agresi (aggression) dimaksudkan agar para siswalah yang berperan aktif dalam proses belajar ini. Dalam PBM, proses ini tampak sekali tidak hanya  pada peran serta siswa dalam kelas, tetapi juga keputusan siswa untuk mencari topic dan bahan pelajaran sendiri.
Refleksi (reflection) dan Retensi (retention) diperlukan pula dalam proses belajar. Dalam proses refleksi atau bercermin diri itu para klien melakukan semacam introspeksi untuk mengtahui sampai sejauh mana mereka telah menguasai bahan dan masalah apa yang timbul dalam kaitan itu. Curran membagi refleksi menjadi dua macam, yakni refleksi teks dan refleksi pengalaman. Kedua refleksi ini dilakukan pada tiap akhir kelas.
Dalam refleksi teks, para klien mendengarkan kembali percakapan yang telah mereka lakukan beberapa menit atau jam sebelumnya untuk merenungkan dan mengecamkan kembali arti dan makna, serta manfaat kalimat atau frase yang telah mereka buat. Perenungan dan pengecaman seperti itu, secara psikologis diperlukan oleh siswa, karena ego mereka akan menuju ke segi positif, apabila mereka mengetahui bahwa sesungguhnya mereka dapat berbahasa asing walaupun masih jauh dari sempurna.
Refleksi pengalaman dimaksudkan untuk mengeluarkan segala permasalahan psikologid yang dialami tiap klien selama kelas sebelumnya berlangsung. Permasalahan itu dapat berupa keraguan, konflik, ketidak-menentuan, kemarahan, kecemasan, dan rasa emosional yang lain.
Dalam pertemuan seperti ini konselor dituntut untuk dapat memberikan bimbingan dan pengarahan psikologis yang akan membawa klien kea rah yang positif. Dari kedua refleksi ini, akan tercapai retensi yang kan membantu klien, (a) memahami, menghayati, dan memanfaatkan apa yang telah dipelajari, dan (b) memanggil kembali (retrieval) semuai ini pada saat diperlukan.
Unsur terakhir untuk menumbuhkan pembelajaran itu adalah diskriminasi (discrimination). Seperti halnya pada anak kecil maupun orang dewasa, pada tahap-tahap pertama  penguasaan suatu bahasa, klien sering tidak mengindahkan ketepatan ucapan, ungkapan, maupun kalimat. Pada taraf ini yang diperlukan adalah komunikasi mengenai isi pembicaraan. Meskipun demikian, pada tahap akhir klien perlu untuk dapat membedakan satu elemen bahasa dari yang lain secara teliti sehingga tingkat kebahasaan yang dikuasainya itu tidak banyak mengandung kesalahan lagi.


c.       Tahap Penguasaan
1.      Tahap embrionik (embryonic stage) merupakan suatu tahap klien sangat bergantung pada konselornya. Pada tahap ini, rasa ketidak-menentuan klien menghalang-halangi dia untuk memakai bahasa asing terutama di hadapan konselor dan orang lain yang tak ia kenal. Tugas konselor adalah menghilangkan atau mengurangi perasaan seperti ii dengan memberikan bimbingan atau penyuluhan yang layak. Konselor menjelaskan aktivitas apa yang diharapkan dan memberi waktu pada klien untuk merefleksikan dirinya mengenai pengalamanya selama itu. Dengan mengemukakan masalah yang mendasari ketak-menentuan ini dan membaginya bersama rekan lain akan timbul suatu keberanian untuk memakai bahasa yang sedang dipelajarinya.
2.      Tahap asersi diri (self-assertion stage), merupakan tahap di mana klien telah memperoleh dukungan moral dari rekan senasibnya untuk bersama-sama menggunakan bahasa asing dan menemukan identitas sebagai penutur bahasa. Pada tahap ini, klien telah berani secara bertahap melepaskan diri dari konselornya dan memakai bahasa asing langsung dengan klien-klien lainnya.
3.      Tahap kelahiran (birth stage), klien secara bertahap mulai mengurangi pemakaian bahasa ibunya. Dia telah mulai merasakan kebiasaannya dalam memakai bahasa asing dan hal ini menimbulkan adanya rasa aman di antara usic mereka.
4.      Pada tahap keempat, klien tidak lagi banyak diam pada waktu diadakan pertemuan konseling seperti pada tahap pertama, tetapi lebih aktif pada percakapan-percakapan yang hidup.
5.      Tahap terakhir, tahap independen (independent stage), merupakan tahap di mana klien telah menguasai semua bahan. Pada tahap ini klien memperluas bahasanya dan mempelajari pada aspek usic dan budaya dari para penutur asli.

d.      Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Dalam PBM, yang dianjurkan oleh Curran ialah tiap kelas terdiri atas enam sampai dua belas klien, dan tiap klien mempunyai seorang konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat bentuk semacam lingkaran. Konselor berada di belakang klien. Atau mungkin konselor dapat berada di ruang lain dan dihubungkan dengan klien melalui media elektronik.
Dalam PBM, tidak dipaki suatu buku teks apapun. Para klien datang untuk memulai kelasnya dengan duduk melingkari meja dan mereka bebas untuk memilih usic apa saja yang akan mereka bicarakan hari itu. Pada akhir kelas, rekaman pada proses pembelajaran tersebut diputar kembali untuk direnungkan dan dihayati.

e.       Hasil yang Dicapai
Laporan dari para penganut atau pencoba pendekatan ini menunjukkan bahwa hasil yang dicapai sangat baik atau paling tidak memberikan harapan yang cerah di masa depan. Eksperimen yang dirintis oleh Curran selama lebih dari lima belas tahun di Universitas Loyola memberi dasar yang mantap untuk mengembangkan metode ini. Sejalan dengan metode Curran, Stevick, La Vorge dan Taylor juga berkesimpulan bahwa metode ini mempunyai masa depan yang dapat diharapkan.

2.      Respons Fisik Total
a.    Latar Belakang
Respons Fisik Total (Total Physical Response) dipelopori oleh James J. Asher. Pada pertengahan tahun ’60-an ia memulai eksperimen pembelajaran Bahasa dengan memanfaatkan aktivitas fisik (motorik). Respons fisik total berkaitan dengan teori pelacakan ingatan dalam psikologi. Semakin serng atau semakin intensif hubungan ingatan (memori) dilacak, semakin kuatlah asosiasi memori itu dan semakin mudah untuk diingat kembali. Pelacakan kembali dapat dilakukan secara verba atau dengan cara  menghubungkannya dengan gerakan fisik (gerakan tubuh).
b.   Prinsip-prinsip Dasar
Respons Fisik Total (RFT) didasari oleh asumsi bahwa asimilasi dari informasi dan keterampilan dapat ditingkatkan secara signifikan apabila kita memanfaatkan system sensori kinestetik. Dasar ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa dalam menguasai bahasanya sendiri seorang anak kecil lebih banyak mendapatkan pajanan ujaran-ujaran yang memerlukan tanggapan fisik daripada macam ujaran yang lain. RFT memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para siswa untuk lebih dulu membekali diri dengan keterampilan pemahamam sampai mereka benar-benar merasa siap untuk berbicara.
Otak dan sistem  saraf manusia untuk menguasai bahasa sudah terprogram secara biologis dan dalam urutan serta cara tertentu yakni pemahaman sebelum keterampilan berbicara dengan mengadakan sinkronisasi antara bahasa dengan gerakan tubuh.
c.    Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran RFT idealnya adalah  di ruang yang agak besar yang dapat diubah-ubah bentuknya sesuai dengan situasi yang sedang diperagakan. Untuk mencapai hasil yang optimal jumlah siswa dibatasi antara 20-25 siswa. Masalah usia siswa tidak dipermasalahkan dalam RFT.  Satu paket lengkap terdiri atas 53 pelajaran yang masing-masing berlangsung 3 jam. Dengan demikian, RFT memerlukan waktu sekitar 159 jam. Hampir semua bahan pelajaran disajikan dalam bentuk kalimat perintah untuk merealisasikan kaitan antara tubuh dengan penguasaan bahasa. Karena arti dalam RFT disajikan dalam bentuk peragaan fisik, pendekatan ini tidak memerrlukan terjemahan ke bahasa siswa. Pemakaian terjemahan dibutuhkan apabila bahan yang disajikan berupa abstraksi.
Koreksi terhadap kesalahan  siswa hanya diberikan pada saat-saat yang tepat karena bagi RFT kesalahan adalah hal yang wajar yang selalu dialami. Proses pengajarannya sendiri dimulai dengan kalimat yang pendek, sederhana, dan dapat divisualisasikan di kelas. Langkah selanjutnya dengan memperpanjang kalimat. Pada tiap pelajaran baru selalu diberikan ringkasan dari pelajaran sebelumnya.
d.   Hasil yang Dicapai
Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan yakni pembelajaran selama 32 jam untuk bahasa Jerman bagi orang dewasa telah membuktikan bahwa hasil yang dicapai sama  dengan hasil selama 75 atau 150 jam dengan metode konvensional di universitas. Hasil satu semester RFT sama dengan dua semester audio-lingual, padahal jumlah mahasiswanya 350 orang. Proses pengalihan dari pemahaman ke ujaran, Asher mengatakan bahwa proses ini akan berjalan alamiah.
3.      Pendekatan Alamiah
a.      Latar Belakang
Pendekatan alamiah (Natural Approach, NA), dirintis pada tahun 1977 oleh Tracy D. Terrell, seorang guru bahasa Spanyol dari Universitas California. Semula pendekatan ini bersandar pada pendekatan lama, yakni metode langsung. Tetapi, perkembangannya kemudian makin menjauh dari metode ini sehingga nama pendekatan alamiah dianggap lebih cocok. Istilah alamiah didasarkan atas suatu pandangan bahwa penguasaan (mastery) suatu bahasa lebih banyak bertumpu pada pemerolehan (acquisition) bahasa itu dalam konteks yang alamiah dan kurang pada pembelajaran (learning) aturan-aturan yang secara sadar dipelajari satu per satu.

b.      Prinsip-prinsip Dasar
Bertitik tolak dari suatu pandangan bahwa tujuan pembelajaran bahasa adalah untuk membuat siswa dapat berkomunikasi, maka focus dan cara pembelajaran bahasa harus dialihkan dari apa yang sekarang ini umum dilakukan. Siswa harus didorong untuk memiliki kompetensi komunikatif yang oleh Terrel didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk dapat memahami apa yang dikatakan oleh penutur asli dan simengerti apabila dia berbicara dengan penutur asli tanpa kesalahan yang dapat mengganggu arti yang dimaksud.
            Definisi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu. Bertindak sebagai pendengar, siswa tidak diharuskan menguasai semua kata dan macam konstruksi gramatik yang diucapkan oleh penutur asli. Penutur asli adalah sebuah mesin yang mampu mengkreasi segala macam wujud bahasa selama wujud itu dimungkinkan di dalam system bahasa yang bersangkutan. Dalam pendekatan alamiah seorang siswa cukup untuk disyaratkan menguasai sebagian dari bentuk lisan yang didengarnya, karena dalam komunikasi yang nyata pasti ada hal-hal di luar kebahasan yang membantu dia memahami ujaran yang didengarnya.
Ketika bertindak sebagai pembicara, seorang siswa pada taraf permulaan tidak diharapkan pula untuk menguasai, apalagi secara sempurna, semua bentuk gramatikal, lafal yang baik, kata-kata yang tepat, dsb. Harapan untuk kebagusan elemen-elemen seperti ini hanyalah angan-angan dan impian sang guru. Dalam komunikasi yang nyata tak ada seorang penutur asli mana pun yang akan memperhatikan kemulusan ucapan, kalimat, atau pun intonasi dari seorang penutur asing. Kecuali dalam kasus-kasus yang khusus, penutur asli akan memperhatikan isi pembicaraan dan bukan elemen-elemen kebahasaanya.
Ragam yang sering disebut sebagai interlanguage (Selinker 1972), approximative system (Nemser 1971) atau idiosyncratic dialect (Corder 1971) ini merupakan ragam yang pasti akan dimiliki oleh siswa yang sedang belajar bahasa asing. Sikap pendekatan alamiah terhadap soal ini adalah bahwa kita tidak perlu terlalu merisaukannya. Implikasi dari sikap ini adalah bahwa dalam pendekatan alamiah koreksi kesalahan siswa tidak dilakukan dalam waktu proses belajar di kelas melainkan di luar kelas dalam bentuk pelatihan-pelatihan atau pekerjaan rumah yang khusus dimaksudkan untuk itu.
Penekanan pada komunikasi mau tidak mau memaksa pendekatan alamiah untuk menyajikan kosakata dalam jumlah yang banyak. Hal ini diperlukan karena dalam pendekatan alamiah benar-benar dibedakan antara komprehensi dan produksi. Dalam mengembangkan kemampuan komprehensi ini Terrel mengajukan beberapa cara, salah satu di antaranya adalah pendekatan respons fisik total (Total Physical Response). Cara lain, misalnya ialah dengan memanfaatkan nama siswa di kelas dan deskripsi tentang dia, yang diikuti oleh nama lain beserta deskripsinya pula, semuanya nyata. Cara lain lagi adalah dengan memakai gambar-gambar yang mirip tetapi tak sama.
Model teoritis yang mendasari pendekatan alamiah adalah lima hipotesis (Krashen & Terrel 1984: 26-39). Pertama, hipotesis pemerolehan-pembelajaran (The Acquistion-Learning). Menurut hipotesis ini penguasaan bahasa oleh orang dewasa terjadi melalui dua proses yang berbeda, yakni pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan adalah formulasi kaidah tata bahasa yang dilakukan di bawah sadar, sedangakan pembelajaran adalah studi tentang kaidah tata bahasa yang dilakukan berdasarkan kognisi secara sadar. Kedua, hipotesis urutan alamiah (The Natural Order Hypothesis). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa ada urutan-urutan alamiah dalam pemerolehan bahasa. Dan dari segi tata bahasa, misalnya, ada pola-pola tata bahasa yang diperoleh awal usic pola-pola lain yang baru diperoleh kemudian. Ketiga, hipotesis monitor (The Monitor Hypothesis). Krashen dan Terrel mengtakan bahwa proses pembelajarandi kelas hanya mempunyai kegunaan yang terbatas atau sekunder. Hasil dari proses seperti ini hanya akan berbentuk suatu monitor,suatu penyunting, yang fungsinya hanyalah untuk meneliti kalimat-kalimat yang akan atau telah dibuat pembelajar. Keempat, hipotesis masukan (The Input Hypothesis). Dalam hipotesis yang mula-mula dicetuskan oleh Krashen pada tahun 1980 di Konferensi Meja Bundar Universitas Georgetown ini menyatakan bahwa komprehensi lisan dan tulisan merupakan dua unsur penting yang harus didahulukan. Siswa harus cukup banyak diberi masukan supaya terkondisikan dengan bahasa barunya. Kemampuan berbicara dan menulis tidak dapat diajarkan secara langsung, tetapi akan muncul setelah siswa membangun kompetensi dalam komprehensinya. Hipotesis terakhir adalah hipotesis saringan afektif (The Affective Filter Hypothesis).  Sikap siswa dalam usahanya untuk memperoleh bahasa juga sangat penting. Kalau sikap itu digambarkan sebagai saringan afektif, saringan yang ketat akan membuat siswa tidak cukup terbuka untuk menerima masukan dari lingkungannya. Sebaliknya, saringan yang longgar,yakni sikap positif akan memperoleh masukan tadi.
Dalam pendekatan alamiah kelonggaran saringan itu dapat dilaksanakan karena :
1)      Siswa tidak diharuskan sudah berbicara samapai dia betu-betul merasa siap.
2)      Siswa boleh menjawab dalam bahasanya sendiri, bahasa asing yang sedang dipelajarinya, atau campur-campur.
3)      Siswa tidak dikoreksi, kecuali bila proses komunikasi terganggu.

c.       Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Pendekatan alamiah diciptakan untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam berkomunikasi. Tujuan ini dituangkan dalam wujud situasi,fungsi,dan topic. Krashen & Terrel memberikan 14 kelompok situasi yang tentu saja tidak boleh dianggap sebagai jumlah yang tertutup. Karena konsentrasi pendekatan alamiah adalah pengembangan kemampuan komprehensi, tekanan pembelajarannya lebih banyak pada penyajian kosakata dalam jumlah yang banyak dan kurang pada unsur tata bahasa. Demikian pula, lafal tidak diberi perhatian khusus, kecuali bila mengubah arti.
Seluruh waktu di kelas dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas yang menopang pemerolehan dan bukan pembelajaran. Empat contoh aktivitas semacam ini adalah :
1)      Afektif-humanistik
Dalam hal ini aktivitas afektif-humanistik bertujuan untuk melibatkan perasaan,pendapat,keinginan,reaksi,ide, dan sebagainya.
2)      Bersifat memecahkan masalah
Pemecahan masalah disajikan agar siswa dapat memusatkan pada pencarian jawaban situasional yang benar.
3)      Berbentuk permainan
Bentuk permainan tidak boleh dianggap iseng atau selingan melainkan suatu aktivitas yang perlu direncanakan secara teliti untuk membantu pemerolehan.
4)      Berorientasikan isi masalah
Aktivitas yang berorientasikan pada isi menekankan subjek akademik yang memang diperlukan oleh siswa.
Di samping pemakaian respons fisik total seperti yang telah dikatakan di muka, pendekatan alamiah memakai beberapa cara lain untuk mengembangkan kemampuan komprehensi ; salah satu di antaranya adalah pemakaian situasi de kelas.
d.      Hasil yang Dicapai
Meskipun pendekatan alamiah telah dipakai oleh banyak orang untuk mengajarkan berbagai bahasa seperti bahasa Jerman, Portugis, Spanyol, dan Inggris, namun klaim mengenai keampuhan pendekatan ini, belum pernah dinyatakan secara numerical. Satu-satunya pernyataan yang ditemukan hanya berbunyi seperti ini “Dengan pendekatan alamiah, setelah satu semester siswa menunjukkan kinerja lebih baik dalam berbicara, menulis, serta kosakatanya menjadi lebih luas, lebih dapat menstransmisikan banyak informasi, lebih akurat dalam penggunaan kalimat bila dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan pendekatan langsung”.



4.    Pendekatan Diam
a.        Latar Belakang
Pendekatan lain yang dinamakan pendekatan diam (Silent Way, SW), sebenarnya telah mulai dirintis pada tahun 1954 oleh Caleb Gattegno. Tetapi, buku pertama yang membeberkan metode ini baru dterbitkan pada tahun 1963 dengan judul Teaching Foreign Languages in Schools: The Silent Way. Setelah mengalami berbagai ekspreimen tambahan selama tiga belas tahun, Gattegno menerbitkan buku lagi, The Common Sense of Teaching Foreign Languages, yang memerinci dan merevisi pemikiran dia semula. Pendekatan Diam adalah perkembangan dari pengalaman Gattegno sebelumnya, dan sebagian dari pendekatan diam mencerminkan pandangan Gattegno di bidang nonbahasa.

b.        Prinsip-prinsip Dasar
Gattegno berkesimpulan bahwa manusia diberkati dengan kemampuan untuk menggerakkan kekuatan-dalam lebih banyak daripada yang disadarinya. Penguasaan bahasa tidak dapat dilakukan dengan imitasi penubian saja. Gattegno menyatakan bahwa pikiran anak-anak dilengkapi dengan kemampuan untuk bekerja dengan lebih baik dengan mengadakan coba dan ralat dan eksperimen yang memang direncanakan dengan menunda penilaian dan merevisi simpulan.
Konsekuensi dari pandangan ini ada dua macam. Pertama, kita harus dapat menumbuhkan kesadaran akan adanya kekuatan ini sehingga yang dulu dipakai untuk menguasa B1 kini dapat dipakai lagi untuk B2. Cara untuk mencapai hal ini dilakukan antara lain dengan membiasakan siswa mendengaran melodi bahasa. Sisiwa perlu diberi kesempatan sebanyak mungkin untuk mendengarkan melodi bahasa yang sedang dipelajarinya maupun bahasa-bahasa yang lain. Berbagai warna yang berkaitan dengan bunyi dan kata juga perlu disajikan.
Konsekuensi kedua adalah bahwa kita tidak boleh berkonsentrasi pada pengajaran tetapi pada pembelajaran. Doktrin Gattegno adalah bahwa pembelajaran itu yang utama sedangkan pengajaran itu bersifat penunjang saja. Jika diterjemahkan ke bahasa sehari-hari, proses penguasaan bahasa itu harus dilakukan oleh siswa itu sendiri. Merekalah yang harus lebih banyak aktif di kelas, memanfaatkan paling tidak 90% dari seluruh waktu tatap muka, sedangkan guru hanya bertindak sebagai pemberi bahan di sana sini di mana perlu. Dalam kebanyakan hal, guru diwajibkan untuk lebih banyak diam, kecuali waktu menyajikan bahan baru. Penanganan kelas dilakukan dengan gerakan tangan, gelengan kepala, senyum, dsb. Jadi, istilah diam itu berlaku untuk gurunya bukan untuk siswanya.
Karena penguasaan B1 tidak sama dengan B2 maka metode pembelajarannya tidak mungkin yang alamiah. Secara eksplisit Gattegno menyerukan agar pendekatan yang dipakai itu menjadi pendekatan yang sangat artifisial dan sangat terkontrol (Gattegno 1963:12). Cara penyajian bahan, pemilihan bahan, dan alat peraga yang dipakainya juga sangat tidak konvensional. Bahan tentu saja disajikan dengan media verbal, tetapi instruksi kepada siswa, koreksi kesalahan, dan penanganan kelas yang dilakukan tanpa memakai bahasa.
Berbeda dengan pendekatan alamiah (Natural Approach), pendekatan diam (Silent Way) sangat membatasi jumlah kosakata yang disajikan. Dalam empat kali tatap muka (yang jumlah jamnya tidak disebutkan tetapi diperkitakan 4 jam) hanya disajikan sekitar 30 kata yang terdiri atas satu kata benda, enam kata sifat warna, tiga kata bilangan, dua artikel, tiga kata kerja, lima kata ganti persona, tiga kata ganti petunjuk, dan kata keterangan, satu kata depan, dan satu kata sambung.
Pembatasan seperti ini didasarkan suatu pandangan bahwa siswa harus betil-betul memanfaatkan daya kognisisnya untuk “mengutak-atik” jumlah kata yang sedikit, tetapi dicampur-campur  dalam konstruksi yang berbeda-beda ini.
Mengenai kesalahan yang dibuat siswa, Gattegno tidak langsung melakukan koreksi. Paling-paling yang dilakukan adalah memberi isyarat kepada siswa lain untk membantu memberikan respons yang benar.
Untuk membantu siswa menguasai bahan yang diberikan, Gattegno memakai beberapa alat peraga (1) satu perangkat potongan kayu dengan warna dan ukuran yang berbeda-beda, (2) beberab Fidel (Fidel Chart), (3) beberan dinding (wall chart), (4) pita dan alat rekaman, film, transparansi, gambar, (5) tiga teks dan buku cerita, dan (6) tiga antologi.
Pada awal pembelajaran pemakaian potongan kayu (rods) ini dimaksudkan untuk menyajikan nama benda itu sendiri, konsep tetang ukuran (panjang, pendek), warna (merah, hijau, dsb.), harak (jauh, dekat), perbandingan (lebih panjang daripada, lebih dekat daripada), dsb. Tentu saja, tata bahasa disajikan pila dengan mencamurkan satu konsep dengan yang lain (kayu pendek ini, ambil kayu yang merah, jauh dari dia, dsb.) praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetik untuk lafalnya.

c.         Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Pada hari pertama guru mulai mengajar, dia membawa satu kotak potongan kayu berwarna seperti digambarkan di atas. Dia mengambil satu batang yang merah dan pendek sambil mengucapkan, misalnya, layuka. Dengan dua kayu yang satu kata itu siswa terpaksa menerka-nerka apakah layuka itu berarti potongan kayu atau warna merah. Setelah guru kemudian mengambil kayu lain yang berwarna biru dengan ukuran yang lebih panjang lagi dan dia juga mengucapkan kata layuka maka sadarlah para siswa bahwa layuka pasti berarti sebatang kayu, dan bukan warna merah. Dengan kata lain, siswa dipimpin untuk memakai kognisi untuk mencari arti.
Setelah beberapa kali mendemonstrasikan contoh di atas, guru memberi isyarat kepada siswa dengan gerakan tangan dan usic untuk menirukan. Kemudian secara indivisual siswa diminta memberikan kata bagi kayu yang ditunjukkan. Kata baru untuk biru, rubi, misalnya, dapat kemudian diberikan dengan cara seperti di atas. Penggabungan kalimat dapat diperagakan dengan mengangkat kayu biru yang ukurannya berbeda-beda sambil berkata rubi layuka. Secara kognitif siswa akan tahu tidak hanya arti frase itu saja, tetapi juga kaidah tata bahasanya, yakni untuk menyatakan suatu benda yang berwarna kata sifat warna diletakkan di muka kata bendanya, dsb.
Pada awal pembelajaran hanya tiga kata kerja yang diberikan. Misalnya, bilam, kaniber, dan kantole yang masing-masing artinya “ambil, berikan, dan letakkan”. Kata-kata itu satu per satu diberikan dalam konteks peragaan. Misalnya, rubi layuka bilam, sambil guru mengambil kayu biru. Dengan menambah kata dan “mengutak-atik” urutannya dapat tercipta cukup banyak kalimat dan frase.
Beberan dinding dipakai untuk melatih ucapan. Dengan guru menunjukkan huruf-huruf tertentu, yang masing-masing ada warna  untuk ucapannya, siswa diminta untuk membuat kata: r – u – b – i = rubi, dsb.

d.        Hasil yang Dicapai
Gattegno mengklaim bahwa dalam waktu satu tahun siswa dapat menguasai bahasa dengan metode lain dperlukan lebih dari empat tahun. Gattegno juga menganjutkan agar siswa berpindah ke bahasa asing lain seteleh menguasai satu B2 dengan pendekatan diam ini karena dalam duania modern di mana manusia bergaul secara bebas dengan manusia lain secara internasional lebih baik kalau kita menguasai beberapa bahasa asing.

5. Sugestopedia
a.    Latar Belakang
Pendekatan terkahir yang disajikan adalah Sugestopedia, yang mulai dirintis pada musim panas tahun 1975 di Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian Pendidikan di bawah Georgi Lozanov melakukan penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Pada awal perumbuhannya sugestopedia hanya dicoba di negara-negara Eropa Timur seperti Soviet Rusia, Jerman Timur, dan Hongaria. Ketika pada tahun 1970 Sheila Ostrander dan Lynn Schroeder menerbitkan Psychic Discoveries behind the Iron Curtain mulailah sugestopedia Lozanov ini dikenal lebih luas. Sebagai seorang dokter dan psikoterapis. Lozanov tentu saja memanfaatkan keahlian ilmunya ini untuk mengangani bidang-bidang lain yang menjadi minatnya.
Sugestopedia telah mempunyai organisasi untuk mengembangkan pendekatan ini. Di Sofia, Bilgaria, ada Institute of Suggestology dan di Amerika sekelompok peminat telah mendirikan The Society of Suggestive-Accelerative Learning and Teaching di bawah pimpinan Donald Schuster, di lowa State University.

b.    Prinsip-prinsip Pengembangan
Sebagai landasan yang paling dasar dan paling bawah untuk sugestopedia adalah suggestology, yakni suatu konsep yang berpandagan bahwa manusia dapat diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan diberikan sugesti. Pikiran harus dibuat tenang, senatai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan dapat dengan mudah diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama.
Dalam bukunya Lozanov menerapkan sugesti ini tidak hanya pada proses belajara bahasa, tetapi juga pada bidang-bidang lain termasuk proses anastesi untuk operasi penyakit. Dalam bisang pembelajaran bahasa suasana tenang ini dicapai dengan memakai berbagai cara, salah satu diantaranya adalah yoga. Pada saat sebelum  siswa mulai tiap pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya adalah untuk menghimpun kemampuan yang hipermnestik (hypermnestic abilities) yakni, suatu kemampuan “supermemory” yang luar biasa. Contoh yang dipakai Lozanov diambil dari seorang bernama K.M., yang dapat memperkalikan lima pasang angka (28x424, 53x541, 23x344, 63x256, dan 27x473) dalam waktu 16,68 detik. Padahal dengan kalkulator saja diperlukan waktu 28 detik.
Di samping perlunya menggali hypermnesia ini, diperlukan suatu atmosfer fisik yang mendukung proses belajar-mengajar. Atmosfer itu diciptakan dengan pemilihan rauangan yang kondusif terhadap proses pembelajaran. Ruang belakar Lozanov bukan suatu ruang kelas biasa, tetapi suatu ruang dengan kursi yang enak diduduki, diatur supaya santai, dan diterangi denganlampu-lamou yang agak redup. Pada tiap pelajaran yang diberikan pula latar belakang usic sesuai dengan jiwa bahan yang diberikan. Baik yoga, ruang, dan usic ini semuanya dimaksudkan untuk menenangkan pikiran siswa sehingga dapat dengan mudah menerima bahan yang diberikan.
Sugestopedia tidak percaya pada penggunaan laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada pelatihan-pelatihan struktural yang ketat. Pelatihan dalam bentuk penibuain yang mekanistik tidak akan mendatangkan hasil yang baik. Sebaliknya, sugestopedia menekankan penyerapan mental dair bahan pelajaran yang diterima, untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas.
Meskipun pada dasarnya sugestopedia menekankan pemakaina hanya B2 di kelas, tatapi pada saat-saat yang tepat B1 dipakai pula, terutama untuk menerangkan dan memberikan arti bagi kata-kata yang baru. Berbeda dengan pendekatan diam dan pendekatan alamiah, sugestopedia melakukan koreksi terhadap kesalahan yang dibuat oleh siswa.
Pada umumnya bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang. Dialog dalam sugestopedia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan ada di kosakata da nisi, (2) dasar pembuatan dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang nyata, (3) harus secara emosiaonal relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetik untuk lafalnya.

c.    Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Untuk kelas intensif, sisiwa sugestopedia bertemu empat jam sehari, enam kali seminggu, untuk jangka waktu satu bulan. Dengan demikian, satu paket pelajaran terdiri atas 96 tatap muka. Karena atmosfer kelas harus dijaga, jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik lagi kalau enam pria dan enam wanita. Tiap siswa diberi nama dan peran baru. Nama ini didasarkan pada sistem fonologi B2 dalam bandingannya dengan B1. Kalau dalam B1 tidak ada bunyi sengau, sedangkan di B2 (bahasa Perancis, misalnya) ada, nama itu dapat Leon Dupont, dia tinggal di onze rue Napoleon, dan dia bekerja sebagai macon.
Tiap pertemuan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama (sesudah hati pertama, tentunya) dipakai untuk mengulang bahan pelajaran hari sebelumnya. Ini dilakukan dalam bentuk terutama percakapan, permainan, sketsa, dan acting. Bila siswa membuat kesalahan, ia dibetulkan untuk nama dan peran yang mengandung bunyi-bunyi yang sukar juga dilakukan pada saat ini.
Pada bagian kedua, guru menyajikan bahan baru dalam bentuk dialog tradisional: bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan keterangan mengenai kata-kata baru dan tata bahasa. Seperti dikatakan sebelumnya, dialog ini harus relevan, nyata, menarik dan dipergunakan sesuai dengan isinya.
Kedua bagian yang pertama ini sebenranya tidak jauh berbeda dari pendekatan yang lain. Yang betul-betul unik dalam sugestopedia adalah bagian ketiga yang dinamakan séance. Seance adalah pertemuan perkuliahan yang tujuannya ialah untuk reinforcement bahan baru pada taraf bawah sadar. Pada tatap muka ini para siswa duduk-duduk dan bersantai diri dengan posisi duduk yang dinamakan Savasana. Kegiatan seance terdiri atas dua macam, yang aktif dan pasif, dan kegiatan ini berlangsung sekitar satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap pernapasan dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk tarik napas, 4 detik keudian untk tahan napas, dan dua detik terakhir untuk istirahat. Proses ini diulang-ulang selama sekitar 25 menit.
Pada dua detik tarikan napas guru menyajikan bahan dalam bentuk B1 untuk memberikan siswa kesempeatan mengerti apa yang akan disajikan dalam B2. Pada detik ketiga sampai keenam sisiwa meanahan napas dan gu ru menyajikan bahan dalam B2. Pada saat ini siswa boleh melihat buku teks dan mengulangi secara mental bahan yang sedang disajikan. Pengulangan mental merupakan bagian dari inner speech ini oleh para ilmuwan jiwa Eropa Timur dianggap sangat bermanfaat mengembangakan hypermnesia. Pada dua detik terakhir dari siklus pertama ini siswa melakukan istirahat pernapasan untuk selanjutnya mengulangi siklus kedua, ketiga, dst.
Bagian yang pasif dari seance selanjutnya, yang sering juga disebut bagian konser, berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada saat  ini siswa mendengarkan suatu macam music gaya baroque, yaitu bentuk yang berasal dari abad ke-17 yang penuh ornamentasi dan improvisasi, efek-efek yang kontrasif seperti tercermin pada karya Bach dan Handel. Para sisiwa menutup mata dan memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser ini berakhir dengan bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tegugahlah siswa dari meditasi mereka masing-masing.

e.              Hasil yang Dicapai
Dalam kelas-kelas eksperimen maupun kelas-kelas biasa metode ini dikatakan memberikan hasil yang luar biasa. Dalam hala retensi kosakata untuk bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia. Lozanov nyatakan bahwa rata-rata retensinya adalah 93.16%. bahakan setelah diselingi waktu sampai hampir tiga tahun pun retensi kosakata masih sempurna.
Para penganut Lozanov menghasilkan angka-angka yang berbeda-beda. Dalam  percobaannya dengan kata-kata Spanyol, Bordon, dan Schuster menemukan bahwa sugestopedia menghasilkan 2,5 kali dari pendekatan lain. Guru-guru di Lowa sedikit lebih baik, yakni mereka memerlukan hanya sepertiga dari waktu yang diperlukan oleh pendekatan lain. Klaim tertinggi dinyatakan oleh Ostrader dan Schruder: Sugestopedia dapat menghasilkan sampai 50 kali lebih baik dari metode lain.


BAB III
PENUTUP

A.           SIMPULAN

Setelah era pendekatan komunikatif muncullah pendekatan-pendekatan baru dalam pembelajaran bahasa, diantaranya ialah pendekatan bahasa masyarakat, respons fisik total, pendekatan alamiah, pendekatan diam, dan pendekatan sugestopedia.
Pendekatan pembelajaran masyarakat berakar pada konsep psikoterapi, guru berperan sebagai konselor dan siswa sebagai klien. Konselor bertugas menghilangkan perasaan negative klien. Untuk menumbuhkan pembelajaran dibutuhkan SARD, yakni security (rasa aman), attention-aggression (atensi-agresif), retention-reflection (retensi-refleksi), dan discrimination (diskriminasi). Dalam kelas ini kelas dianjurkan dalam kelompok kecil. Yakni sekitar 612 orang.
Pendekatan respons fisik total berakar pada padangan bahwa asimilasi informasi dan keterampilan dapat ditingkatkan secara signifikan bila system sensori kinestetik dimanfaatkan secara optimal. Dalam pembelajaran pendekatan ini harus membekali diri  dengan ketrerampilan komprehensi  dulu sebelum menguasai keterampilan produksi. Kelas dirancang kelompok kecil supaya system sensori kinestetik optimal, pembelajaran banyak dilakukan dalam bentuk perintah-perintah.
Pendekatan alamiah berpandangan bahwa penguasaan suatu bahassa lebih banyak bertumpu pada konteks yang alamiah dan bukan pada konteks yang formal ilmiah. Pendekatan ini juga berpandangan bahwa dalam pembelajaran bahasa yang utama ialah mencapai kompetensi komunikatif. Model teoretis pendekatan alamiah bersandar pada lima hipotesis Krashen, yakni hipotesis pembelajaran-pemerolehan, hipotesis urutan alamiah, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis filter afektif.
Pendekatan diam berpandangan bahwa dalam pembelajaran bahasa selayaknya kita mengandalkan kekuatan yang ada pada pembelajar. Pembelajaran bahasa tidak harus dengan penubian ataupun imitasi. Penganut pendekatan ini juga yakin bahwa pembelajaran harus berpusat pada anak, bahkan sangat ekstrim, guru harus diam, anak yang harus bicara dan bekerja keras.
Pendekatan sugestopedia berlandaskan pada sugestologi, yakni konsep yang berpendapat bahwa manusia  dapat diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan diberikqan sugesti kepadanya. Pikiran dibuat setenang-tenangnya, santai, dan terbuka sehingga merangsang saraf penerimaan otak pembelajar. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pembelajaran  dianjurkan pembelajar menggunakan musicpengiring yang selaras dan tenang. Juga dianjurkan untuk mencapai ketenangan itu dengan melakukan yoga.


DAFTAR PUSTAKA

Subyantoro. 2014. Teori Pembelajaran  Bahasa Implementasi Psikolinguistik Pendidikan. Semarang: Unnes Press

Komentar

  1. selamat malam ericka blog nya bagus simple cantik menarik untuk dibaca apa lagi kalo ada lagu nya :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "Bulusan" yang Berkembang di Daerah Kudus

Hakikat Membaca Ekstensif dan Membaca Intensif

Merindu Bahu